kppnbojonegoro.net – Bagi sebagian mahasiswa, validasi dosen mungkin terdengar sepele. Namun bagi mahasiswa neurodivergen—seperti mereka yang berada dalam spektrum autisme, ADHD, atau disleksia—pengakuan sederhana dari seorang dosen bisa menjadi penopang semangat yang sangat berarti.
Mahasiswa neurodivergen sering menghadapi tantangan yang tidak kasat mata. Mereka berjuang memahami instruksi, mengelola waktu, atau menyesuaikan diri dengan lingkungan akademik yang kaku. Di tengah tekanan tersebut, kata-kata dukungan atau pengakuan dari dosen mampu menjadi oase yang menyegarkan pikiran mereka yang lelah.
Ketika dosen menyapa dengan empati, mendengarkan keluhan tanpa menghakimi, atau memberikan ruang fleksibel untuk menyelesaikan tugas, mahasiswa neurodivergen merasa dihargai sebagai manusia utuh. Validasi ini tidak hanya menyentuh hati, tetapi juga memperkuat keberanian mereka untuk terus bertahan dalam sistem pendidikan yang belum sepenuhnya inklusif.
Banyak kisah menunjukkan bahwa mahasiswa yang hampir menyerah bisa bangkit kembali hanya karena satu kalimat: “Saya percaya kamu bisa.” Kalimat sederhana itu mengaktifkan rasa percaya diri yang sering kali hilang akibat pengalaman akademik yang melelahkan.
Dosen memiliki posisi strategis untuk membentuk iklim belajar yang ramah neurodivergensi. Mereka bisa mulai dengan hal kecil: mendesain ulang tugas agar lebih fleksibel, menggunakan bahasa yang tidak menekan, atau sekadar memberi waktu ekstra tanpa membuat mahasiswa merasa bersalah.
Validasi bukan berarti memanjakan. Justru, itu adalah bentuk dukungan yang memperkuat ketahanan. Dalam dunia yang menuntut keseragaman, validasi adalah pengingat bahwa setiap mahasiswa punya cara unik untuk bersinar.
Dosen mungkin tidak selalu sadar, tapi ucapan dan sikap mereka bisa menjadi penyelamat. Dan bagi mahasiswa neurodivergen, itu bisa berarti segalanya.