Detik - Detik Terakhir Hidupnya Imam Gay Pertama Melampaui Batas

Imam Gay Pertama Melampaui Batas – Muhsin Hendricks, imam gay pertama di dunia, lahir pada Juni 1967 di Cape Town, Afrika Selatan. Ia tumbuh dalam keluarga Muslim yang taat. Kakeknya seorang ulama, ayahnya penyembuh spiritual, dan ibunya guru agama Islam. Pada 1990 hingga 1994, Hendricks menempuh pendidikan di Universitas Studi Islam, Karachi, Pakistan. Di sana, ia mempelajari bahasa Arab klasik dan ilmu-ilmu Islam.

Karier dan Kehidupan Pribadi

Setelah kembali ke Afrika Selatan, Hendricks bekerja sebagai imam paruh waktu di sebuah masjid lokal dan mengajar di beberapa madrasah. Pada usia 23 tahun, ia menikah dalam pernikahan yang diatur, meski menyadari orientasi seksualnya. Pernikahan itu menghasilkan tiga anak, tetapi berakhir dengan perceraian setelah enam tahun. Pada 1996, Hendricks secara terbuka mengidentifikasi dirinya sebagai gay, menjadikannya imam pertama di dunia yang terbuka mengenai orientasi seksualnya.

Mendirikan Organisasi untuk Muslim LGBTQ+ – Imam Gay Pertama Melampaui Batas

Pada 1998, ia mendirikan Al-Fitrah Foundation, organisasi yang membantu Muslim LGBTQ+ dalam mendamaikan iman dan orientasi seksual mereka. Ia juga mendirikan Masjid Al-Ghurbaah di Wynberg, Cape Town, sebagai ruang aman bagi Muslim LGBTQ+ dan perempuan yang terpinggirkan. Melalui organisasi ini, Hendricks memberikan dukungan spiritual dan sosial bagi individu yang merasa teralienasi oleh komunitas agama tradisional.

Meninggalkan Warisan Inklusivitas

Selama pandemi COVID-19, Hendricks memanfaatkan media sosial seperti TikTok untuk menyebarkan pesan cinta dan penerimaan. Ia membuat video dalam berbagai bahasa, termasuk Hindi dan Urdu, demi menjangkau komunitas Muslim LGBTQ+ di seluruh dunia. Upaya ini menunjukkan dedikasinya dalam menciptakan ruang inklusif bagi semua orang, terlepas dari orientasi seksual atau identitas gender mereka.

Tragedi dan Reaksi Dunia

Pada 15 Februari 2025, Hendricks tewas dalam serangan terencana di Bethelsdorp, dekat Gqeberha, Afrika Selatan. Saat itu, ia sedang dalam perjalanan untuk memimpin pernikahan pasangan lesbian setelah beberapa imam lain menolak. Serangan terjadi ketika sebuah Toyota Hilux menghalangi mobil Hendricks. Dua pria bersenjata bertopeng menembaknya beberapa kali sebelum melarikan diri.

Kematian Hendricks mengejutkan banyak pihak dan memicu reaksi luas. Asosiasi Internasional Lesbian, Gay, Biseksual, Trans dan Interseks (ILGA) mengutuk pembunuhan itu serta mendesak pihak berwenang untuk melakukan investigasi menyeluruh atas kemungkinan kejahatan kebencian. Dewan Ulama Cape Town (CTUB) dan Dewan Ulama Bersatu Afrika Selatan (UUCSA) juga mengecam pembunuhan tersebut. Meski tidak sepakat dengan pandangan Hendricks, mereka menegaskan bahwa kekerasan tidak dapat diterima dan menekankan pentingnya mematuhi hukum.

Warisan dan Inspirasi

Warisan Hendricks sebagai pionir hak-hak Muslim LGBTQ+ tetap hidup. Keberaniannya dalam menantang norma tradisional serta dedikasinya menciptakan ruang inklusif akan terus menginspirasi generasi mendatang. Meskipun hidupnya berakhir tragis, perjuangannya untuk penerimaan dan cinta tanpa syarat akan selalu dikenang.

Kiriman serupa